STOP REKLAMASI
Mari bersama selamatkan ekosistem pesisir laut untuk masa depan anak cucu kita......... Let us save marine coastal ecosystems for the future of our grandchildren ..........

Kamis, 22 April 2010

Masyarakat pesisir kab. Donggala


Meskipun selama ini Indonesia lebih dikenal sebagai negara agraris, namun melihat posisi geografisnya yang dikelilingi lautan dengan panjang garsis pantai sekitar 81.791 maka Indonesia dapat pula dikatakan sebagai negara maritim. Status Indonesia sebagai negara maritim selain sebagai negara agraris dapat pula dilihat dari banyaknya jumlah  penduduk yang bermukim didaerah-daerah pesisir pantai dan bekerja sebagai nelayan. Selain itu Indonesia adalah negara kepulaan yang terdiri atas sekitar 17.508 pulau yang tersebar pada berbagai daerah di Indonesia.
Luasnya perairan Indonesia dengan beragam jenis biota laut yang terdapat didalamnya menunjukan besarnya potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki Indonesia. Khusus di Kabupaten Donggala  potensi areal budidaya laut yang berada pada kawasan  perairan selat makassar ini mencapai luas 9.620 ha dengan tingkat pemanfaatan potensi  untuk usaha perikanan budidaya Keramba Jaring Apung (ikan kerapu) seluas 0,8 ha, Penculture (teripang) seluas 0,2 Ha, dan budidaya rakit/tancap rumput laut luas 1,2 ha.( Statistik Perikanan Kabupaten Donggala, 2006).
Untuk potensi usaha pertambakan yang terletak disepanjang garis pantai selat Makassar seluas 16.565,9 ha, sebagian potensi pertambakan ini merupakan kawasan hutan bakau dengan kerapatan dari ringan sampai lebat. Dari potensi pertambakan tersebut telah diolah seluas 2.735,5 ha atau baru mencapai  16,51 % (tahun 2005). Hal ini menunjukkan peluang pengelolaan usaha budidaya perikanan  tambak masih cukup luas karena besarnya potensi yang tersedia. Data statistik menunjukan untuk pengelolaan budidaya perikanan air payau (pertambakan) masih tersedia sebesar 83,4 % lagi kawasan yang dapat diolah (Statistik Perikanan Kabupaten Donggala, 2006).
 Dengan kondisi potensi sumberdaya laut seperti itu sudah barang tentu memberikan peluang bagi  masyarakat pesisir khususnya yang bekerja sebagai nelayan meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan sosial ekonominya. Meskipun demikian potensi sumberdaya laut yang demikian besarnya sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh umumnya nelayan yang nota bene sebagai nelayan tradisional yang berada didaerah-daerah pesisir. Oleh karena itu sebagaimana dapat dilihat saat ini, umumya nelayan-nelayan tradisional tersebut masih tetap hidup dalam belenggu kemiskinan. 
Gambaran tentang kemiskinan nelayan telah dikemukakan oleh beberapa ahli dalam berbagai publikasi ilmiah.  Sutrisno (1997), Dahuri (2003) misalnya mengemukakan bahwa kantong kemisknan terbesar di Indonesia adalah pada masyarakat nelayan. Demikian halnya Poerwanto (1996) ketika meneliti komunitas nelayan Bajo mengungkapkan bahwa nelayan Bajo tergolong miskin dan sangat terkebelakang baik dari segi sosial ekonomi maupun segi sosial budaya. 
Pembangunan telah dilakukan selama ini secara fisik telah nampak hasilnya seperti dibidang transportasi, komunikasi, dan peningkatan berbagai sarana dan prasana lainnya di pedesaan. Berbagai perubahanpun telah berlangsung dalam masyarakat desa khususnya di kawasan pesisir akibat pembangnan tersebut. Namunpun demikian pembangunan yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya berhasil memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan khususnya masyarakat nelayan. Hal ini dapat dilihat pada masih banyaknya jumlah rumah tangga nelayan di wilayah-wilayah pesisir yang miskin.
Salah satu perubahan sosial menarik untuk dikaji adalah dinamika perubahan dan perkembangan pola-pola hubungan kerja pada komunitas masyarakat nelayan. Pentingnya kajian terhadap hal tersebut adalah untuk menjelaskan bagaimana pola hubungan kerja baru tersebut membentuk struktur sosial dan model-model kelembagaan baru  di pedesaan dan di kawasan pesisir pada khususnya. (sumber: hasil penelitian ujian akhir S1)*akg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar