Ketika tulisan ini dikeluarkan, sejumlah pemimpin dunia dan perwakilan masyarakat sipil sedang melangsungkan Pertemuan Ketahanan Pangan Dunia (World Summit on Food Security/WSFS), 16-18 November 2009 di Roma, Italia. Pertemuan ini didasari oleh keprihatinan atas semakin menguatnya ancaman krisis pangan bagi masyarakat dunia, termasuk pangan dari sektor perikanan.
Jika tahun 1996 angka kelaparan diperkirakan 800 juta jiwa, kini jumlah tersebut justru melonjak mencapai 1 miliar jiwa. Atas keprihatinan tersebut, Ketua Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Jacques Diouf dan Sekjen PBB Ban Ki-moon melangsungkan mogok makan, masing-masing pada 14 dan 15 November 2009 (Antara, 15 November 2009).
Pada sektor perikanan, gejala krisis ikan selaras dengan pemantapan industrialisasi penangkapan ikan yang didukung oleh skema perdagangan dunia yang tidak adil maupun teknologi yang eksploitatif. Bayangkan, 75 persen hasil perikanan di Asia justru diperuntukkan bagi konsumsi Jepang, AS, Eropa, dan China.
Di Indonesia, kebijakan modernisasi perikanan telah dimulai sejak era 1970-an melalui program motorisasi dan modernisasi teknologi alat tangkap untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya laut. Demikian halnya pemerintah mengeluarkan kredit usaha untuk merealisasikan upaya modernisasi tersebut, diikuti dengan pembangunan berbagai infrastruktur perikanan.
Hal serupa terjadi pada perikanan budi daya. Kegiatan pertambakan tradisional yang erat kaitannya dengan perkembangan tradisi dan budaya masyarakat pesisir Indonesia, secara bertahap tergantikan dengan pertambakan intensif dan skala industri (industrial aquaculture) yang dimotori oleh sejumlah lembaga keuangan dunia, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, sejumlah perusahaan transnasional, seperti Charoen Phokpand dan Cargill, serta Agen-agen Pembangunan Internasional. Di antaranya USAID Amerika Serikat dan DFID Inggris—yang secara kolektif menggerogoti sumber daya ikan nasional untuk semata-mata pemenuhan pasar ekspor.
Dari sinilah peran perikanan sebagai sumber pangan dan sumber pengetahuan dan budaya, direduksi fungsinya menjadi hanya sebatas komoditas ekonomi. Sejak saat itu, penggusuran terhadap nelayan melalui aktivitas trawl dan pencemaran di perairan laut, pemiskinan petambak melalui sistem kerja sama inti-plasma (contract farming), serta kriminalisasi terhadap nelayan dengan kedok penetapan kawasan “konservasi” ataupun oleh kegiatan industri pariwisata, terus meluas di Indonesia. Oleh M. Riza Damanik
Alhasil, kualitas dan kuantitas pangan (baca: ikan) terus mengalami penurunan. Secara kualitas, kematian massal ikan yang kerap terjadi di Teluk Jakarta, bisa mewakili satu dari ratusan kasus pencemaran industri di wilayah perairan nelayan tradisional. Tidak saja oleh industri dalam negeri, kecerobohan yang menyebabkan meledaknya ladang minyak Montara, Australia, telah menyebabkan tercemarnya wilayah tangkap nelayan tradisional Indonesia di sekitar Laut Timor hingga saat ini. Dari segi kuantitas, maraknya pencurian dan penggunaan kapal-kapal besar seperti trawl di perairan tradisional, telah menyebabkan semakin langkanya sejumlah komoditas ikan lokal, seperti terubuk di Bengkalis, Riau, dan sejumlah daerah di Sumatera.
Pada titik inilah, guna menyudahi krisis pangan, memastikan kelestarian pengelolaan sumber daya ikan, dan menyejahterakan nelayan tradisional, maka penting kiranya negara mengedepankan upaya pemulihan hak-hak dasar nelayan tradisional sebagai warga negara, serta segera mengakui dan melindungi hak-hak istimewa mereka sebagai seorang nelayan, yang selama ini kerap terabaikan.
Hak-hak dasar yang dimaksud adalah sejumlah hak yang telah tercantum di dalam UUD 1945, seperti hak mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang layak, mendapatkan perlindungan hukum, mengeluarkan pendapat dan berkumpul (berorganisasi), dan sejumlah hak lain yang di antaranya telah dituangkan pada Pasal 28 UUD 1945.
Hak Istimewa Nelayan
Dua puluh tujuh tahun silam, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) telah mengisyaratkan adanya hak perikanan tradisional dengan menyebut bahwa “…. Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya” (Pasal 51 Ayat 1).
Seharusnya, frasa ini menjadi pijakan hukum untuk menempatkan masyarakat perikanan tradisional sebagai aktor istimewa dalam kegiatan perikanan di seluruh penjuru dunia.
Bagi Pemerintah Indonesia, UNCLOS 1982 menegaskan eksistensi dan keistimewaan Indonesia sebagai negara kepulauan, yang selanjutnya diratifikasi ke dalam UU No 17 Tahun 1985. Harapannya, kedaulatan Indonesia secara kewilayahan, utamanya di laut, dapat benar-benar diraih. Sayangnya, 24 tahun sejak diratifikasi, belum diikuti dengan upaya sungguh-sungguh.
Ostrom dan Schlager (1996) menyebutkan bahwa pengguna sumber daya (users) di dalam perikanan sesungguhnya memiliki dua hak yang berbeda, yaitu pertama, hak pemanfaatan (use rights), masing-masing hak akses (access rights), yakni otoritas untuk memasuki suatu kawasan perikanan atau daerah penangkapan, serta hak penangkapan (withdrawal or harvest rights) atau otoritas untuk menangkap atau mengambil unit sumber daya.
Kedua, hak pilihan bersama (collective choice rights) yang terdiri dari hak pengelolaan (management rights), yakni otoritas untuk membuat keputusan bagaimana pemanfaatan sumber daya dilakukan, hak pembatasan (exclusion rights) atau hak untuk menetapkan siapa yang boleh (dan tidak boeh) memasuki suatu kawasan sumber daya dan mengambil unit sumber daya; dan hak transfer (alienation rights) yang menyediakan keleluasaan unuk memindahtangankan, seperti menjual, menyewakan atau mewariskan hak-hak di atas.
Sejalan dengan itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bersama sejumlah organisasi nelayan dari berbagai negara seperti National Organization of Fisherfolk (Nafso) dan World Forum of Fisher Peoples (WFFP), mendorong dipraktikkannya pengakuan hak nelayan tradisional atas wilayah tangkap, hak atas spesies yang ditangkap, alat produksi yang baik (kapal dan alat tangkap), termasuk perlindungan dari ancaman trawler, serta penolakan akuakultur dan skema sertifikasi sebagai jawaban atas kelangkaan pasokan pangan dari ikan, pada Pertemuan Pangan Dunia kali ini.
Upaya dunia mengatasi krisis pangan dan iklim, mustahil dapat tertangani tanpa pengakuan dan pemulihan hak-hak nelayan tradisional. Bagi Indonesia, pengakuan tersebut mendesak dilakukan untuk menghindari terjadinya kekosongan aktor utama perikanan—nelayan tradisional, yang sesungguhnya adalah pahlawan protein yang menyediakan pangan bagi anak-anak bangsa.
Jika dunia sudah mengisyaratkan perlindungan terhadap perikanan tradisional melalui UNCLOS 1982, sudah sepantasnya di level nasional, pemerintah dan DPR periode 2009-2014 segera melahirkan kebijakan yang melindungi hak-hak dasar dan istimewa nelayan tradisional.
Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Peneliti Senior Institut Hijau Indonesia. Link:
http://kiara.or.id/content/view/610/70/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar