Koalisi Tolak HP3
Jelang Putusan Uji Materi UU Pesisir
Jakarta, 9 Agustus 2010. Koalisi Tolak HP3 memberi dukungan kepada Mahkamah Konstitusi untuk segera membatalkan Pasal-pasal tekait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang termaktub di dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Sebelumnya, Koalisi Tolak HP3 yang terdiri dari 27 perwakilan nelayan dan sejumlah organisasi masyarakat sipil mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan Perkara No. 3/PUU-VIII/2010.
Saat ini, telah tersedia 35 Peraturan Daerah terkait HP3 di wilayah pesisir Indonesia. Pada wilayah inilah ditemukan banyak pelanggaran terhadap hak asasi nelayan dan hak masyarakat adat serta perusakan lingkungan hidup. Di sisi lain, inisiatif untuk melahirkan Perda serupa di sejumlah daerah terus mengemuka. Di Semarang, misalnya, meski penolakan dari nelayan dan masyarakat pesisir memuncak, namun DPRD Kota Semarang bersikukuh untuk menjalankan agenda privatisasi wilayah pesisir Semarang untuk proyek reklamasi dan pariwisata.
Usai digelarnya sidang pleno perkara ini pada tanggal 8 Juni 2010 lalu, sudah lebih dari 2 bulan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir merasakan dampak buruk privatisasi yang menjadi ancaman utama dari UU Pesisir. Belum lagi inisiatif penyewaan dan komersialisasi pulau kepada asing, di antaranya Pulau Nipah, Pulau Matak (Gugusan Pulau Anambas), Pulau Tabuhan, Banyuwangi (Jawa Timur), dan Pulau Banda, Maluku Tengah. Untuk itu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi perlu menyegerakan pembatalan Pasal HP3 demi tegaknya supremasi hukum yang berpegang teguh pada cita-cita bangsa, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Konstitusi tersebut telah mengatur persoalan agraria (bumi, air, angkasa dan isinya) dan kewajiban negara serta hak-hak warga negara dalam enam poin utama: pertama, Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan nusantara (Pasal 25 A); kedua, kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3); ketiga, cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara (Pasal 33 ayat 2); keempat, perekonomian Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan demokrasi ekonomi (Pasal 33 ayat 1 dan Pasal 33 ayat 4); kelima, perlindungan hak asasi manusia/ HAM (Pasal 28 A-J); dan keenam, perlindungan hak masyarakat adat (Pasal 18 B, 28 I, dan Pasal 32). Undang-Undang Pengelolaan Wilyah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil justru melanggar amanah konstitusi.
Di samping itu, dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014 juga dijadwalkan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Agar tidak mengulangi kesalahan serupa, baik kiranya proses penyusunan naskah perubahan atas UU tersebut dibuka ke hadapan publik sehingga kepentingan utama nelayan dan masyarakat pesisir.
AKHIRNYA, demi menjaga konstitusi republik Indonesia yang merupakan tugas pokok dari Mahkamah Konstitusi, maka sudah semestinya MK mengabulkan seluruh poin-poin gugatan uji materi yang diajukan oleh 27 perwakilan nelayan dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Tolak HP3 terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut. Apalagi Mahkamah Konstitusi baru saja menggelar dirgahayunya yang ke-7.***
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Riza Damanik, Koordinator Koalisi Tolak HP3/Sekjen KIARA: +62818 773 515
Gunawan, Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice/IHCS: +62815 8474 5469
Muhammad Karim, Direktur Eksekutif PK2PM: +62812 1888 291
atau
Sekretariat Nasional Koalisi Tolak HP3
Jl. Lengkeng Blok J-5
Perumahan Kalibata Indah
Jakarta 12750
Indonesia
Telp. +62 21 798 9522
Faks. +62 21 798 9543
Email. kiara@kiara.or.id
Website. www.kiara.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar