KabarIndonesia - Good Governance yang diterjemahkan sebagai “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik” saat ini sedang menjadi tantangan bagi semua sektor pada jajaran pemerintahan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain rendahnya kinerja pelayanan publik (Pemerintah) terhadap masyarakat, dan salah satunya antara lain adalah di Sektor Kehutanan.
Dengan kondisi kerusakan hutan Indonesia yang mencapai angka 2,2 juta ha/tahun dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Diantara penyebabnya adalah belum maksimalnya penerapan prinsip-prinsip Good Governance pada pengelolaan sektor kehutanan. Kemudian, disadari pula bahwa sumber dari kerusakan hutan tersebut adalah masih adanya kebijakan yang diberikan untuk eksploitasi hutan sejak 30 tahun terakhir. Oleh karena itu maka Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan tegas mengeluarkan pernyataan tentang Transparansi Penyelenggaraan Kehutanan pada tanggal 27 Februari 2006 yang berbunyi; ”Penyelenggaraan Kehutanan dilaksanakan dengan menganut azas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dan untuk mencapai penyelenggaraan kehutanan tersebut dibutuhkan keterbukaan dalam setiap aspek penyelenggaraan kehutanan dengan melibatkan para pihak secara bertanggung-jawab.”
Pernyataan Menteri Kehutanan ini mendapat legitimasi hukum dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (30 April 2008) tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dan salah satu tujuannya adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Ada 3 (tiga) prinsip minimal yang harus diperhatikan dalam tata kelola kehutanan yang baik, yaitu; partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi masyarakat menjadi penting karena semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Sedangkan Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Bahwa semua proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi harus dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Dengan melihat perkembangan sektor kehutanan sekarang banyak para pihak berpendapat bahwa, penerapan Good Forestry Governance adalah salah satu kunci untuk menekan laju deforestasi. Kendatipun hingga saat sekarang belum ada model aplikatif Good Forestry Governance di Indonesia yang dapat dijadikan acuan. Untuk itu perlu dirumuskan suatu rancang bangun Good Forestry Governance yang melibatkan sektor swasta dan masyarakat serta sekaligus mengimplementasikannya dilapangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Analisis masalah kehutanan permasalahan pengelolaan sumberdaya alam hutan di Indonesia tidaklah terletak pada suatu sisi pandang saja, tetapi justru saling terkait mulai dari sektor hulu yaitu eksploitasi, penataan ruang dan kawasan, sosial ekonomi masyarakat, sampai ke hilir berupa akses pasar produk-produk sektor kehutanan. Keterkaitan antara sektor dan tahapan pengelolaan sumber daya hutan menjadi suatu dasar bagi kebijakan strategis dan tidak bersifat parsial dalam pemecahan masalah pengelolaan sumber daya hutan.
1. Okupasi/Perambahan Okupasi atau perambahan adalah kegiatan membuka lahan di kawasan hutan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja untuk tujuan ekonomis. Kegiatan perambahan/okupasi sekarang ini merupakan faktor dominan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Beberapa faktor pendorong terjadinya kegiatan okupasi/perambahan adalah:
a. Perekonomian masyarakat disekitar kawasan hutan yang masih rendahBeberapa penelitian dan pengalaman empiris telah menunjukkan bahwa hutan dan kehutanan di Indonesia sangatlah terkait dengan kemiskinan. Temuan Center for Economic and Social Studies (CESS, 2005) dari hasil pengolahan data Podes (Potensi Desa, 2003: letak desa terhadap hutan), data BKKBN (2003: jumlah KK miskin) dan data SUSENAS (2002: jumlah KK miskin), memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin per desa yang terletak di dalam dan sekitar hutan, ternyata lebih besar angkanya dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang tinggal di desa luar hutan. Sekitar 20 juta orang lagi tinggal di desa-desa dekat hutan dimana enam juta orang diantaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (CIFOR 2004).
Jika dikaitkan dengan jumlah keseluruhan penduduk miskin Indonesia yang tinggal di pedesaan (14,6 juta penduduk pada tahun 2004), maka jumlah kaum miskin yang tinggal di lingkungan hutan adalah hampir mencapai sepertiga dari keseluruhan kaum miskin di Indonesia. Adapun penyebab utama angka kemiskinan pada masyarakat disekitar hutan yang tinggi adalah:Laju pertumbuhan penduduk disekitar kawasan hutan yang tinggi tidak diiringi dengan alternatif sumber mata pencarian dan keterampilan teknis yang memadai. Masyarakat disekitar hutan rata-rata memiliki mata pencaharian dengan mengelola sumber daya alam yang dimiliki/dikuasai.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi memunculkan konsekuensi kebutuhan akan lahan perkebunan yang tinggi. Kondisi ini dapat dipenuhi ketika masih banyak lahan terlantar yang belum dikelola, namun kondisi akan berbeda jika lahan yang belum dikelola tersebut terbatas. Kondisi ini memaksa masyarakat untuk membuka lahan untuk kebun mereka didalam kawasan hutan.
b. Belum optimalnya informasi tentang batas kawasan hutanPenyebab okupasi/perambahan yang kedua adalah tidak diketahuinya batas kawasan hutan oleh masyarakat disekitar kawasan. Kondisi ketidaktahuan masyarakat ini menyebabkan mereka (masyarakat) dalam melakukan pembukaan lahan untuk berkebun masuk kedalam kawasan hutan. Kondisi ini minimal disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu:
- Kurangnya informasi tentang cara mengakses untuk memperoleh informasi tentang batas kawasan hutan. Masyarakat tidak mengetahui tempat dan cara untuk mengakses informasi terkait batas kawasan hutan terutama kawasan hutan disekitar mereka. Informasi tentang batas kawasan hutan telah tersedia di Dinas Kehutanan dan dapat diakses oleh publik namun masyarakat belum mengetahui hal ini.
- Kurangnya kesadaran masyarakat disekitar hutan untuk mengetahui batas kawasan hutan disekitar mereka.Masyarakat kurang memiliki kesadaran untuk mengetahui informasi tentang batas kawasan hutan yang ada disekitar mereka. Kondisi ketidakpedulian masyarakat ini juga disebabkan oleh belum tegasnya penegakan hukum terkait perambahan/okupasi, sehingga masyarakat cenderung untuk tidak peduli terhadap batas kawasan hutan.
- Lemahnya komunikasi antara masyarakat dengan pemegang mandat kawasan hutan.Pemegang mandat kawasan adalah Pemerintah maupun perusahaan pemegang izin. Kurangnya komunikasi antara pemegang mandat kawasan dengan masyarakat menyebabkan masyarakat tidak mengetahui batas kawasan hutan.
- Belum optimalnya keterlibatan masyarakat dalam proses penunjukan, penataan batas, penetapan dan pemanfaatan kawasan hutan. Proses menjadikan suatu areal menjadi kawasan hutan membutuhkan proses dari dari tahap penunjukan, penataan batas (sementara dan definitif), penetapan dan pengukuhan. Kesemua proses ini dilakukan oleh pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah. Ketidakterlibatan atau kurang terlibatnya masyarakat dalam rangkaian proses ini terutama keterlibatan dalam artian strategi (turut berperan dalam pengambilan kebijakan) adalah hal yang penting. Selama ini keterlibatan masyarakat hanya dijadikan pemandu atau buruh dari Tim Tata Batas dalam melakukan kegiatannya.
- Masih terbukanya pasar yang menampung hasil produksi kebun (misal: kelapa sawit dan karet) masyarakat yang ada didalam kawasan hutanAdanya pasar bagi produk perkebunan masyarakat baik karet maupun kelapa sawit memunculkan keinginan untuk menambah jumlah produksi. Hingga saat ini belum ada pasar yang menampung karet maupun sawit untuk mengambil kebijakan untuk tidak menerima produksi dari perkebunan yang berada didalam kawasan hutan. Ketiadaan sistem yang mengontrol pasar untuk mencegah dipasarkannya produk kelapa sawit dan karet yang berasal dari areal perkebunan illegal didalam kawasan hutan, menjadikan produksi perkebunan sawit dan karet dari dalam kawasan hutan dapat dengan bebas beredar dan diperjualbelikan. Untuk itu butuh mekanisme kontrol terhadap peredaran produksi perkebunan ilegal dari dalam kawasan hutan.
2. Ilegal Logging/ Pembalakan LiarMeski trend terhadap illegal logging sekarang menunjukkan angka yang semakin menurun namun pada beberapa tempat masih terjadi aktivitas-aktivitas illegal logging. Illegal logging diartikan sebagai kegiatan menebang, menguasai dan memperdagangkan kayu yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan, sebagaimana termaktub didalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Pada dasarnya illegal logging merupakan suatu kejahatan yang dapat disamakan dengan kegiatan pencurian.
Beberapa penyebab terjadinya illegal logging adalah:
1. Penegakan hukum kehutanan yang belum berjalan secara optimalPenegakan hukum terhadap kejahatan illegal logging merupakan wewenang dari aparat keamanan yaitu: polisi, Polisi Kehutanan dan PPNS. Beberapa kondisi yang menyebabkan penegakan hukum kehutanan tidak dapat berjalan secara maksimal adalah:
2. Kurangnya personil dan dana patroli/ pengawasan hutan.
3. Proses penyelidikan dan penyidikan yang belum optimal untuk menjerat pelaku utama ilegal logging. Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan illegal logging yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum mampu secara keseluruhan membuktikan pelaku utama yang membiayai kegiatan tersebut, namun masih berputar-putar pada pelaku lapangan yang notabene adalah pekerja teknis.
4. Belum seimbangnya alokasi dana penyelidikan dan penyidikan dibandingkan beban kerja. Aktifitas penyelidikan dan penyidikan kejahatan illegal logging membutuhkan dana yang relatif besar terutama untuk investigasi lapangan. Kondisi pendanaan sekarang dirasakan belum maksimal untuk menunjang beban kerja yang harus dilakukan.
5. Keputusan pengadilan untuk kasus illegal logging belum maksimal menimbulkan efek jera. Idealnya suatu kejahatan akan berkurang ketika hukuman yang diberikan dapat menimbulkan efek jera. Kondisi sekarang, hukuman bagi terdakwa kasus-kasus kejahatan illegal logging belum memuncukan efek jera tersebut, sehingga orang lainnya tidak takut untuk melakukan hal (kejahatan) yang sama.
6. Masih adanya peredaran kayu yang tidak menggunakan dokumen dan atau tidak sesuai dengan dokumenIllegal logging tidak hanya terjadi di segmen hulu yaitu penebangan didalam kawasan hutan dan tidak memiliki izin, namun juga terjadi di segmen peredaran.
Hasil hutan kayu (dan non kayu) harus memiliki dokumen peredaran ketika diangkut dari hulu ke hilir yang disebut juga dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Dokumen-dokumen tersebut antarat lain:
(1) Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB),
(2) Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB), dan
(3) Faktur Angkutan Hasil Hutan bukan Kayu (FA-HHBK).
Modus illegal logging yang terjadi pada segmen peredaran antara lain:
1. Kayu tidak dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
2. Kayu dilengkapi dengan dokumen palsu
3. Muatan kayu secara fisik di kapal/ truk tidak sesuai dengan yang tertera didalam dokumen SKSHH.
4. SKSHH digunakan berulang-ulang (dicabut dari pos kehutanan atau lembar I dan II dokumen SKSHH tidak dicantumkan masa berlaku dan identitas alat angkutnya)
Masih beroperasinya panglong dan industri kayu (primer/lanjutan) yang menerima kayu illegal
Maraknya illegal logging juga dipengaruhi oleh masih terbukanya pasar untuk menjual kayu-kayu hasil kegiatan illegal logging. Hingga sekarang barangkali belum ada sistem yang benar-benar tepat dan mampu menangkal industri-industri primer maupun lanjutan untuk tidak menerima kayu-kayu dari aktifitas illegal logging. Belum maksimalnya sistem pembinaan dan pengawasan terhadap panglong dan industri kayu merupakan penyebab utama dari hal ini. Prosedur pelayanan dokumen peredaran hasil hutan yang belum optimalProsedur pelayanan dokumen peredaran hasil hutan berada pada Dinas Kehutanan Kabupaten sebagai perpanjangan mandat dari Dinas Kehutanan Provinsi yang memperoleh dokumen dari Departemen Kehutanan. Beberapa dokumen peredaran tersebut diatas adalah SKSKB (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat) dan SKSKB Cap KR (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat cap Kayu Rakyat) dan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) - kayu. Beberapa persoalan terkait pelayanan dokumen peredaran adalah:
1. Belum disusun dan dipublikasikannya standar waktu dan biaya dalam pengurusan dokumen peredaran hasil hutan. Tidak adanya standard waktu dan biaya dalam pelayanan dokumen peredaran kayu menyulitkan bagi publik yang membutuhkan dokumen tersebut.
2. Peraturan peredaran hasil hutan yang berubah-ubah. Beberapa peraturan kehutanan ditingkat pemerintah pusat masih seringkali berubah-ubah sehingga menyulitkan dalam hal implementasinya.
Perwujudan good forestry governance merupakan suatu keharusan bagi pra kondisi pengelolaan hutan yang lestari. Perwujudan tersebut membutuhkan terbosan starategi dan kebijakan. Untuk hal tersebut dibutuhkan analisis masalah pengurusan hutan yang cermat dan tepat sehingga mampu memunculkan strategi dan kebijakan dan tepat pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar