TEMPO Interaktif 24/01/10, Donggala - Pantai wisata Tanjung Karang, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, tiap hari tergerus abrasi akibat kehadiran sejumlah perumahan permanen di bibir pantai tersebut. Abrasi ini dinilai sudah kian parah, sehingga mengancam kelestarian lingkungan sekitar pantai itu.
Koordinator Forum Peduli Pantai dan Laut (FPPL) Kabupaten Donggala, Patrisia Lamarauna Minggu (24/1) mengatakan sejak adanya bangunan permanen milik pengusaha asal Donggala dan Palu awal 2009, bibir Pantai Tanjung Karang mulai terkena abrasi.
Patrisia menyatakan bila terjadi air laut pasang, tidak terlihat lagi kemilau hamparan pasir putih. Yang ada hanya air laut yang mulai tercemar oleh berbagai sampah dan limbah dari pembangunan rumah permanen, seperti sisa kaleng cat bangunan yang dibuang di laut.
Lebar pantai sebelum adanya bangunan permanen itu sekitar 15 meter. Namun sembilan bulan kemudian sejak bangunan permanen dibangun Februari 2009, terjadi pengikisan pantai satu setengah meter setiap bulannya.
“Pantai Tanjung Karang saat ini, hampir tidak dapat digunakan lagi sebagai ruang publik oleh masyarakat lokal maupun oleh para wisatawan, karena sudah terkikis abrasi,” gundahnya.
Ia menilai fungsi pelayanan publik yang seharusnya dilakukan Pemkab Donggala mengenai pelestarian lingkungan, perlindungan biota laut dan pengembangan dunia kepariwisataan, hampir tidak dapat diandalkan Laporan yang telah diadukan tidak pernah ditindaklajuti instansi terkait.
Koordinator Forum Peduli Pantai dan Laut (FPPL) Kabupaten Donggala, Patrisia Lamarauna Minggu (24/1) mengatakan sejak adanya bangunan permanen milik pengusaha asal Donggala dan Palu awal 2009, bibir Pantai Tanjung Karang mulai terkena abrasi.
Patrisia menyatakan bila terjadi air laut pasang, tidak terlihat lagi kemilau hamparan pasir putih. Yang ada hanya air laut yang mulai tercemar oleh berbagai sampah dan limbah dari pembangunan rumah permanen, seperti sisa kaleng cat bangunan yang dibuang di laut.
Lebar pantai sebelum adanya bangunan permanen itu sekitar 15 meter. Namun sembilan bulan kemudian sejak bangunan permanen dibangun Februari 2009, terjadi pengikisan pantai satu setengah meter setiap bulannya.
“Pantai Tanjung Karang saat ini, hampir tidak dapat digunakan lagi sebagai ruang publik oleh masyarakat lokal maupun oleh para wisatawan, karena sudah terkikis abrasi,” gundahnya.
Ia menilai fungsi pelayanan publik yang seharusnya dilakukan Pemkab Donggala mengenai pelestarian lingkungan, perlindungan biota laut dan pengembangan dunia kepariwisataan, hampir tidak dapat diandalkan Laporan yang telah diadukan tidak pernah ditindaklajuti instansi terkait.
Untuk mengantisipasi dampak abrasi pantai, FPPL Donggala yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi, yakni Perjuangan Masyarakat Pesisir, Yayasan Bone Bula, Yayasan Pudjananti Indonesia, Yayasan Kampung Halaman, Prince Jhon Dive Resource, Walhi Sulteng, ROA Sulteng, Perkumpulan Evergreen Indonesia serta Rumah Baca Pusentasi Donggala telah menyurati ke Departemen Perikanan dan Kelautan agar meninjau lokasi kerusakan pantai dan mengambil langkah konkrit berupa pembongkaran bangunan di Tanjung Karang. Termasuk meninjau pembangunan sarana umum yang tidak memenuhi standar analisa mengenai dampak lingkungan.
Pantai Tanjung Karang yang berjarak sekitar 30 km dari Palu ini termasuk pilihan favorit untuk rekreasi warga Palu. Sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang setiap hari libur. Angka ini meningkat pesat setelah Pemprov Sulteng mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007.
Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap daun sagu. Tarifnya relatif murah, antara Rp100 ribu hingga Rp300 ribu sehari-semalam untuk masing-masing "cottage" yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar