STOP REKLAMASI
Mari bersama selamatkan ekosistem pesisir laut untuk masa depan anak cucu kita......... Let us save marine coastal ecosystems for the future of our grandchildren ..........

Minggu, 22 Agustus 2010

Kerusakan dan Pencemaran Teluk Palu Memprihatinkan

PALU – Tingkat kerusakan lingkungan di Teluk Palu semakin memprihatinkan, mulai dari bentangan alam, pendangkalan serta pencemaran air laut. Tetapi ironisnya, tidak ada upaya pemerintah setempat untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran di kawasan itu.

”Saya benar-benar memprotes keras kebijakan Wali Kota Palu yang membiarkan pembangunan rumah toko dan bangunan lain di sepanjang Teluk Palu. Kehadiran bangunan-bangunan yang ditetapkan sebagai jalur hijau itu memosisikan Teluk Palu sebagai tempat sampah,” kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulawesi Tengah (Sulteng), Said Awad baru-baru ini.
Sebagai wujud protes, Said Awad mengirim surat ke Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele. Isinya, meminta gubernur agar menegur Wali Kota Palu Baso Lamakarate untuk melakukan upaya-upaya pencegahan kerusakan dan pencemaran di Teluk Palu. Jika tidak, teluk yang sangat potensial dijadikan obyek pariwisata itu bakal mengalami kerusakan yang lebih parah.
Dulu, kata Said Awad, ketika kewenangan pengelolaan masih ditangani tingkat provinsi, Gubernur Aminuddin yang digelari pendekar lingkungan, selalu melarang segala bentuk pembangunan di kawasan pantai Teluk Palu. Tetapi sekarang, setelah kewenangan itu diserahkan sepenuhnya ke Pemkot Palu, justru bangunan di kawasan pantai menjadi tumbuh subur. Akibatnya, kerusakan dan pencemaran air di teluk itu semakin parah. Sebab, berbagai sampah dari bangunan-bangunan di pinggir pantai itu dibuang ke laut.
Ratusan nelayan tradisional yang selama ini menggantungkan hidupnya dari penangkapan ikan di teluk itu, juga sudah sejak beberapa tahun lalu mengeluhkan berkurangnya hasil tangkapan mereka. Protes para nelayan yang terbesar, terjadi tahun 1999, ditandai dengan pembakaran puluhan bagan yang dimodali pengusaha besar.
Ashar, seorang nelayan, menyebutkan tidak kurang dari 100 bagan besar yang beroperasi di Teluk Palu yang dimodali pengusaha besar. Mereka melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan genset untuk lampu penerangan. Namun, akhir-akhir ini, hasil tangkapan mereka semakin berkurang sehingga kebanyakan berpindah ke daerah Pantai Barat Sulteng.
”Dibandingkan 10 tahun lalu, hasil penangkapan nelayan di Teluk Palu sudah sangat jauh menurun karena terjadinya pencemaran air laur. Setiap malam, kami sulit mendapatkan ikan,” kata Ashar.

Pembuangan Limbah
Menurut Said Awad, warna air laut yang tadinya kebiruan kini tampak kekuning-kuningan. Mulai dari pinggir pantai sampai dengan radius lima kilometer, saat siang hari, dapat dilihat warna air laut yang kekuning-kuningan itu. Ini lebih diakibatkan pembuangan limbah domestik dan industri, pembukaan tambang-tambang galian C, penataan kawasan industri pariwisata serta tata guna lahan di pesisir yang terakumulasi menjadi faktor penyebab turunnya hasil tangkapan nelayan.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng Harley membenarkan pernyataan Said Awad. Semakin sulitnya para nelayan mendapatkan hasil tangkapan ikan di teluk itu, menjadi salah satu indikasi kerusakan dan pencemaran air laut di Teluk Palu. Sementara pertambangan galian C untuk mengelola pasir, batu dan kerikil yang ada di kawasan Teluk Palu, memberikan kontribusi sangat besar terhadap kerusakan itu.
”Sampai sekarang terdapat 11 perusahaan tambang galian C yang aktif di Kota Palu dan Kabupaten Donggala yang beroperasi di daerah-daerah aliran sungai di kawasan Teluk Palu. Akibat kegiatan pertambangan, material dibawa ke laut dan dan menyebabkan air laut berwarna kekuning-kuningan serta membentuk delta-delta. Inilah hasil pencemaran pertambangan-pertambangan itu,” kata Harley.
Karena itulah, Walhi Sulteng mengimbau kepada pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala agar segera menertibkan perusahaan-perusahaan tambang galian C itu. Jika tidak, tingkat kerusakan dan pencemaran di Teluk Palu akan semakin parah. Demikian pula dengan bentangan alam di bagian hulu dan hilir sungai-sungai yang dijadikan penambangan selama ini akan rusak.
”Kontribusi perusahaan-perusahaan tambang galian C itu tidak seberapa ketimbang kerusakan yang akan diakibatkan. Dan, selama ini, saya menilai pemerintah hanya mengejar pendapatan dari sektor itu, tanpa mempertimbangkan dampaknya yang lebih besar,” kata Harley.

Bantuan Jepang
Menurut Harley, pada tahun 2000 pemerintah membangun tanggul dengan dana Rp 95 miliar, bantuan dari OECF-Jepang. Tanggul itu dimaksudkan untuk mencegah kerusakan sungai yang bermuara di mulut Teluk Palu. Dana sebesar itu sama sekali tak sebanding dengan kontribusi perusahaan-perusahaan tambang di sekitarnya yang hanya mencapai angka Rp 3 miliar tahun 2001.
Deputi Direktur Yayasan Masyarakat Madani Dedi Irawan juga sependapat dengan Harley dan Said Awad. Dedi yang juga koordinator Komite Rakyat Korban Tambang (Terkam) menilai penambangan galian C di sekitar Teluk Palu hendaknya dilakukan penundaan agar semua perusahaan yang mengelola pasir, batu dan kerikil itu memiliki izin. Hasil pengamatan selama ini menunjukkan banyak perusahaan yang tidak lagi memiliki izin, namun masih tetap melakukan kegiatan penambangan.
Akibat kegiatan penambangan puluhan perusahaan itu, bukan saja berdampak pada kerusakan dan pencemaran di Teluk Palu, tetapi jua menyebabkan bahaya banjir di beberapa tempat. Seperti di Kelurahan Watusampu, Palu Barat, Kota Palu, misalnya. Ketika terjadi hujan lebat bulan lalu, terjadi banjir dan menyebabkan putusnya jembatan yang menghubungkan poros jalan Palu-Donggala.
Tetapi yang paling penting, kata Dedi, dari kegiatan penambangan selama ini, masyarakat di sekitarnya tidak mendapatkan keuntungan. Itulah sebabnya, warga di beberapa daerah penambangan kerap kali melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD maupun ke kantor gubernur, mendesak agar izin-izin penambangan dicabut.
Tetapi Kepala Dinas Pertambangan Sulteng Yusuf Paddong mengatakan pencabutan izin perusahaan-perusahaan tambang galian C tidak bisa seenaknya dicabut. Sebab, ketika proses pemberian izin, pihaknya melakukan peninjauan ke lapangan, termasuk meminta persetujuan dari masyarakat setempat. Ia merasa heran mengapa tiba-tiba masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang itu.
Secara nasional, kata Jusuf Paddong, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tambang hanya 0,1 persen. ”Jadi pertambangan tidak bisa dijadikan sebagai salah satu penyebab utama dari kerusakan lingkungan,” katanya.
Eksploitasi tambang galian C dinilainya ibarat makan buah simalakama. Bila diambil dituding sebagai penyebab banjir atau kerusakan lingkungan. Namun bila tidak diambil, material itu akan datang sendiri saat hujan, dan bahkan mungkin lebih berbahaya lagi. Karena itu, menurut Jusuf, yang paling penting adalah pengawasan ketat terhadap setiap perusahaan tambang galian C dalam upaya pengendalian lingkungan dengan menerapkan aturan ketat.
(SH/tasman banto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar