STOP REKLAMASI
Mari bersama selamatkan ekosistem pesisir laut untuk masa depan anak cucu kita......... Let us save marine coastal ecosystems for the future of our grandchildren ..........

Jumat, 29 Oktober 2010

Persoalan Lingkungan di Tengah Geliat Pertumbuhan Ekonomi


KabarIndonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan isu pemanasan global dan perubahan iklim sebagai masalah serius yang bisa berdampak buruk pada kelangsungan hidup di bumi. PBB kemudian menggalang komitmen bersama negara-negara anggotanya untuk menanggulangi masalah besar ini melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim) (21 Maret 1994) dan Kyoto Protocol (16 Februari 2005) yang merupakan penjabaran mekanisme tindak lanjut dari konvensi tersebut. Sebagai anggota PBB yang peduli lingkungan, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kedua instrumen hukum tersebut dengan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim dan UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol, serta menindaklanjutinya dengan menetapkan langkah-langkah penanggulangan pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu langkah penanggulangan tersebut adalah pemberlakuan kewajiban untuk menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) seluas minimal 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan kawasan perkotaan, sebagaimana diatur dalam sejumlah UU seperti: UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang), dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup).

Pasal 18 UU Kehutanan mengatur bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan adalah minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Pasal 29 UU Penataan Ruang mengatur pula bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Demikian juga dengan penjelasan Pasal 57 UU Lingkungan Hidup yang mewajibkan penyediaan RTH paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan.

Definisi resmi RTH itu sendiri (sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penataan Ruang) adalah "area memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam." Secara konkret, RTH dapat berbentuk hutan, jalur hijau, atau taman.

Keberadaan RTH dalam kualitas dan kuantitas yang memadai telah terbukti mengurangi pemanasan global.
Menurut Pakar Tata Lingkungan, Prof. Eko Budihardjo (1997), keberadaan RTH seluas ± 30 hektar yang dipenuhi pepohonan dapat menurunkan suhu lingkungan ± 2,5º C. Heinz Frick (2002) bahkan mengemukakan, lahan dengan tanaman seluas 1 hektar dapat memberikan efek penurunan suhu hingga 4º C. Secara ekologis, RTH juga dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota.

Pemberlakuan kewajiban penyediaan RTH adalah aturan yang relatif baru karena tidak ditemui dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sebelum ratifikasi Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (1994). Ini menunjukkan bahwa instrumen-instrumen hukum internasional turut memegang andil dalam perubahan paradigma pembangunan di Indonesia.

Dalam paradigma lama, pembangunan lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memerhatikan perlindungan lingkungan hidup. Dengan semakin bertambahnya masalah lingkungan yang memengaruhi kehidupan umat manusia, paradigma pembangunan perlu diubah. Sejak
Pertemuan Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro tahun 1992, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah dicanangkan sebagai paradigma baru pembangunan dunia yang menekankan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari dan berkesinambungan.

Dalam paradigma lama itu pula, kawasan budi daya dan kawasan perkotaan hanya dinilai sebagai kawasan ekonomis sehingga penyediaan lahan untuk segala sesuatu yang tidak atau hanya sedikit mendatangkan keuntungan ekonomis dipandang sebagai pemborosan belaka. Tidak mengherankan apabila kota-kota besar di Indonesia berlomba-lomba untuk membangun pusat perbelanjaan, perkantoran, kawasan permukiman, dan fasilitas-fasilitas lain yang bernilai ekonomis tinggi dengan mengorbankan taman kota dan kawasan RTH lainnya. Akibatnya,
kota-kota tersebut mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup dan rentan terhadap perubahan cuaca sehingga bencana ekologis seperti banjir atau longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau tidak terelakkan lagi. Selain itu, penduduk kota juga mengeluhkan ketidaknyamanan dan risiko terhadap kesehatan yang timbul sebagai akibat dari kurang terserapnya gas-gas polutan yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Kondisi tersebut menyadarkan para penentu kebijakan untuk mengubah paradigma perencanaan dan pembangunan kota agar memprioritaskan aspek lingkungan hidup yang harus mendapatkan tempat secara proporsional.

Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa paradigma baru pembangunan yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya dihayati dan diterapkan oleh para pelaku pemerintahan di Indonesia. Sebagaimana lazimnya penegakan hukum di Indonesia yang masih bermasalah, pemberlakuan kewajiban penyediaan RTH minimal 30% juga belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh,
RTH Jakarta hingga tahun 2009 hanya ± 9%, sedangkan rencana RTH Jakarta pada tahun 2000-2010 hanya ditetapkan sebesar 13,94%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Palembang hanya memiliki RTH seluas ± 3%, sama dengan Makassar yang RTH-nya juga ± 3% sedangkan Medan hanya memiliki RTH seluas ± 5%, Bandung ± 8,8%, Bandar Lampung ± 9%, Bogor ± 10%, Semarang ± 15,7%, Surakarta ± 16%, dan Surabaya ± 20%. Alasan ekonomi masih menjadi alasan utama yang menyebabkan belum dapat dipenuhinya RTH minimal 30%. Alasan itu pulalah yang menjadi pertimbangan beberapa Pemerintah Daerah untuk melakukan alih fungsi RTH sampai saat ini.

Contoh terbaru alih fungsi RTH adalah
rencana renovasi Gedung Olahraga Bumi Sriwijaya, Palembang, untuk fasilitas SEA Games 2011 yang diperkirakan akan mengorbankan RTH di sekitarnya. Menyadari dampak buruk yang akan timbul, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sedang mengupayakan pembatalan alih fungsi tersebut. Contoh lain ditunjukkan oleh Pemerintah Kota Bandung yang berencana untuk mengalihfungsikan Hutan Kota Babakan Siliwangi menjadi kawasan komersial. Seperti juga yang terjadi di Palembang, rencana alih fungsi hutan kota ini pun menuai berbagai kecaman dan penolakan dari para warga yang peduli.

Berbagai kenyataan di atas menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara harapan dan kenyataan dalam pemeliharaan RTH. Harapan yang tertuang dalam serangkaian instrumen hukum belum diimbangi dengan sikap nyata para pelaku pemerintahan sebagai salah satu figur penentu. Dengan kenyataan seperti itu, komitmen Indonesia untuk ikut mengurangi pemanasan global dan menanggulangi perubahan iklim dikhawatirkan akan sulit terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar